Kamis, 09 Mei 2013

Penetapan Kriteria dan BM Rawa Gambut


PENDAHULUAN


Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik pada fisiografi cekungan atau rawa, akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh air, anaerob, menyebabkan proses perombakan bahan organik berlangsung sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi bahan organik yang membentuk tanah gambut. Lahan gambut di Indonesia merupakan lahan gambut terluas keempat di dunia setelah Kanada, Rusia, Amerika Serikat (Peat-portal.net). Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan berkisar antara 13,5 – 26,5 juta hektar. Data luas lahan gambut terus berubah seiring dengan maraknya pembukaan lahan gambut oleh masyarakat yang tidak mengerti pentingnya keberadaan lahan gambut. Kerusakan lahan gambut ini diakibatkan karena illegal loging, kebakaran lahan, konversi lahan gambut menjadi perkebunan sawit dan lahan sawah sejuta hektar. Namun semua itu ternyata tidak memberikan hasil yang maksimal karena pada dasarnya lahan gambut bukanlah merupakan lahan produktif yang bisa dikonversi menjadi perkebunan atau sawah.
Lahan gambut merupakan salah satu deposit karbon di muka bumi, seperti halnya minyak bumi dan batubara. Oleh karenanya, sangat besar sekali peranan lahan gambut dilihat dari aspek lingkungan. Beberapa aspek lingkungan yang dapat dilihat dari lahan gambut yaitu lahan gambut sebagai penyimpan karbon, lahan gambut sebagai sumber emisi gas rumah kaca, kebakaran lahan gambut dan aspek geologi dan subsiden.    
Meningkatnya jumlah populasi mendesak manusia untuk dapat bertahan hidup dengan segala konsekuensi. Sekalipun memanfaatkan lahan –lahan marjinal untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia. Lahan gambut menjadi salah satu jenis lahan marginal yang dipilih, terutama untuk perkebunan besar. Hal ini dikarenakan lahan gambut relatif jarang penduduknya sehingga kemungkinan timbulnya konflik agraria sangat kecil.
Dalam konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yang lahir dari komisi dunia tentang lingkungan dan pembangunan pada tahun 1978 yang dikenal pula dengan nama Komisi Brundlant. Pernyataan dari Komisi Brundlant yang sangat populer adalah bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Berangkat dari konsep sustainable development ini maka sangat penting bagi setiap rencana memperhatikan fungsi dari lahan yang akan mereka manfaatkan. Karena hal ini sangat menyangkut kepada pernyataan bahwa bumi ini merupakan warisan anak cucu, bukan titipan nenek moyang.
Sumber daya alam yang meliputi vegetasi, tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dan kepentingan pembangunan nasional dengan memperhatikan kelestasiannya.




      


TINJAUAN PUSTAKA


Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik pada fisiografi cekungan atau rawa, akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh air, anaerob menyebabkan proses peroombakan bahan organik berjalan sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi bahan organik yang membentuk tanah gambut.  
Indonesia memiliki lahan gambut terluas diantara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta Ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008).
Tabel 1. Penyebaran dan luas lahan gambut di indonesia menurut propinsi
Pulau/Propinsi
Luas Total (ha)
Sumatera
  • Riau
  • Jambi
  • Sumatera Selatan
Kalimantan
  • Kalimantan Tengah
  • Kalimantan Barat
  • Kalimantan Selatan
Papua dan Papua Barat
6.244.101
4.043.600
716.839
1.483.662
5.072.249
3.010.640
1.729.980
331.629
7.001.239
Total
18.317.589

Catatan: apabila lahan gambut di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Kalimantan timur diperhitungkan, maka luas total lahan gambut di Indonesia adalah sekitar 21 juta hektar.
Sebagian besar lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai jenis fauna dan tanaman langka. Lebih penting lagi, lahan gambut berfungsi menyimpan karbon (C) dalam jumlah besar, baik diatas maupun dibawah permukaan tanah. Gambut juga mempunyai daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya. Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam sistem hidrologi kawasan hilir suatu DAS karena mampu menyerap air 13 kali lipat dari bobotnya.
Lahan gambut adalah layan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik >18%) dengan ketebalan 50cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swam) atau daerah cekungan yang draenasenya buruk.

a.        Pembentukan Lahan Gambut
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang telah lapuk maupun yang belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986).
Pembentukan gambut diduga terjadi antara 10000-5000 tahun yang lalu dan gambut indonesia terjadi antara 6800-4200 tahun yang lalu (Andriesse, 1994). Pembentukan gambut memerluakan waktu yang sangat panjang. Gambut tumbuh dengan kecepatan antara 0-3 mm per tahun. Di Barambai Delta Pulau Petak Kalimantan Selatan, laju pertumbuhan gambut sekitar 0,05 mm dalam 1 tahun, sedangkan di Pontianak sekitar 0,13mm per tahun. Di Sarawak Malaysia, laju pertumbuhan berjalan lebih cepat, yaitu sekitar 0,22 mm sampai 0,48 mm per tahun (Noor, 2001 dari berbagai sumber).
Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan lapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian  menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan dibawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian tengah dari danau dangkal ini dan membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh.
Bagian gambut yang mengisi danau dangkal tersebut disebut dengan gambut topogen karena pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen biasanya lebih relatif subur (eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut.
Gambut yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral.         

b.        Klasifikasi Lahan Gambut
Gambut diklasifikasikan berdasarkan sudut pandang yang berbeda yaitu dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya.

Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi:
1.       Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya < 15%. Jenis gambut ini memiliki bahan organik kasar kurang dari 1/3.
2.       Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat dan bila diremas bahan seratnya 15 – 75%. Jenis gambut ini memiliki 1/3 – 2/3 bahan organik kasar.
3.      Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas masih mengandung > 75% bahan serat yang tersisa. Jenis gambut ini memiliki lebih dari 2/3 bahan organik kasar.
Contoh tanah gambut yang diambil menggunakan bor gambut (peat sampler). Gambar atas memberikan contoh gambut fibrik (mentah) dan gambar bawah contoh gambut hemik (setengah matang).

Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:
1.       Gambut eutrofik, adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
2.       Gambut mesotrofik, adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan mineral dan basa-basa sedang.
3.      Gambut oligotrofik, adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari pengaruh lumpur sungai biasanya termasuk golongan gambut oligotrofik.

Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan oligotrofik (Radjagukguk, 1997). Gambut eutrofik di Indonesia hanya sedikit dan umumnya tersebar di daerah pantai dan disepanjang jalur aliran sungai.
Berdasarkan lingkungan pembentuknya, gambut dibedakan atas:
1.       Gambut ombrogen, yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya dipengaruhi oleh air hujan.
2.       Gambut topogen, yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen.
Proses pembentukan lahan gambut di daerah cekungan lahan basa:        a. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah, b. Pembentukan gambut topogen, dan c. Pembentukan gambut ombrogen diatas gambut topogen.

Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi:
1.       Gambut dangkal (50 – 100cm)
2.       Gambut sedang (100 – 200cm)
3.      Gambut dalam (200 – 300cm)
4.      Gambut sangat dalam (>300cm)

Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi:
1.       Gambut pantai, adalah gambut yang terbentuk di dekat pantai laut dan mendapat pengayaan mineral dari air laut.
2.       Gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan.
3.      Gambut transisi adalah gambut yang terbentuk diantara ke dua wilayah tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut.

c.         Karakteristik Fisik Lahan Gambut
Karakteristik fisik lahan gambut meliputi kadar air, berat isi (bulk density), daya menahan beban (bearing capacity), penurunan permukaan (subsiden), dan mengering tidak balik (irreversible drying).
Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1300% dari berat keringnya (Mutalib et al., 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya. Kadar air yang tinggi menyebabkan bulk density (BD) menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan bebannya rendah (Nugroho et al., 1997; Widjaja-Adhi, 1997). BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g/cm3 tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut fibrik yang pada umumnya berada pada lapisan bawah memiliki BD lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tetapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki BD > 0,2g/cm3 (Tie dan Lim, 1997) karena adanya pengaruh tanah mineral.    


Air mengalir dari kubah gambut melalui saluran drainase

Berikut dapat dilihat nilai tabulasi yang dilakukan Wahyunto et.al (2004) untuk nilai-nilai BD dan C organik di Sumatera dan Kalimantan. Nilai-nilai yang dikumpukan tersebut berasal dari analisis langsung di beberapa lokasi di Sumatera dan Kalimantan.
Tabel 2. Nilai kisaran dan rata-rata bobot isi/bulk density (BD) dan C-organik pada tiap jenis/tingkat kematangan gambut di Sumatera.
No.
Tingkat kematangan gambut
Bobot isi (BD) (gram/cc)
C-organik (%)
Kisaran
Rata-rata
Kisaran
Rata-rata
1.
Fibrik
0,1012 – 0,12
0,1028
-
53,31
2.
Hemik
0,1325 – 0,29
0,1716
38,97 – 51,37
48,00
3.
Saprik
0,2492 – 0,37
0,2794
28,96 – 53,89
44,95
4.
Peaty soil/mineral bergambut sangat dangkal
0,2152 – 0,6878
0,3402
28,96 – 39,81
35,12

Tabel 3. Nilai kisaran dan rata-rata bobot isi/bulk density (BD) dan C-organik pada tiap jenis/tingkat kematangan gambut di Kalimantan.
No.
Tingkat kematangan gambut
Bobot isi (BD) (gram/cc)
C-organik (%)
Kisaran
Rata-rata
Kisaran
Rata-rata
1.
Fibrik
0,11 – 0,19
0,13
40,02 – 49,69
42,63
2.
Hemik
0,20 – 0,24
0,23
34,52 – 40,01
36,24
3.
Saprik
0,25 – 0,29
0,27
32,57 – 34,50
33,53
4.
Peaty soil/mineral bergambut sangat dangkal
0,30 – 0,40
0,32
26,85 – 32,55
30,75

Volume lahan gambut akan menyusut bila lahan gambut di drainase, sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume, subsiden terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama gambut didrainase, laju subsiden mencapai 2 – 6% per tahun tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase.
Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisme karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan roboh.
Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah mengering tidak balik. Gambut yang telah mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar dalam keadaan kering (Widjaja-Adhi, 1988). Gambut yang terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar.
 
d.        Karakter Kimia Lahan Gambut
Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral dan substatum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein dan seyawa lainnya.
Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan kisaran pH 3 – 5. Gambut oligotropik yang memiliki substratum pasir kuarsa di Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH 3,25 – 3,75 (Halim, 1987; Salampak, 1999). Sementara gambut di sekitar air sugihan kiri, Sumatera Selatan memiliki kisaran pH 4,1 – 4,3 (Hartatiek et al., 2004).
Gambut oligotropik mempunyai kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut, maka basa-basa yang dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah akan semakin masam. Disisi lain, Kapasitas Tukar Kation (KTK) gambut tergolong tinggi sehingga Kejenuhan Basa (KB) menjadi sangat rendah. Tim IPB (1974) melaporkan bahwa tanah gambut pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB kurang dari 10%, demikian juga gambut di timur Riau.
Lahan gambut merupakan lahan dengan tingkat kesuburan yang rendah karena unsur haranya yang rendah dan mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Untuk mengurangi pengaruh buruk dari asam-asam tersebut maka dapat dilakukan penambahan bahan-bahan yang banyak mengandung Fe, Al, Cu, dan Zn.
Kawasan gambut di Indonesia dan daerah tropis lainnya terbentuk dari pohon-pohon sehingga memiliki kandungan lignin yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan gambut di daerah beriklim sedang. Lignin dalam kondisi anaerob akan mengalami proses degradasi sehingga menghasilkan senyawa humat dan asam-asam fenolat yang bersifat racun bagi tanaman.
Pada tabel berikut dapat dilihat sifat kimia lahan gambut pada berbagai ketebalan.






Tabel 4. Sifat Kimia Lapisan Permukaan Tanah Gambut Pada Berbagai Ketebalan
Sifat Kimia Tanah
Ketebalan gambut (cm)
20
50
80
120
180
300
340
pH
4,6
4,0
3,3
3,3
3,4
3,1
3,3
C-org (%)
26,4
39,9
50,4
50,0
53,8
56,7
57,0
N total (%)
1,2
1,7
1,7
1,7
1,8
1,5
1,0
C/N
22
24
30
29
30
33
58
KTK (me/100gr)
77,3
147,9
165,3
134,1
216,4
137,4
194,0
KB (%)
37,4
33,0
20,8
17,0
24,1
7,9
9,7
Kation dapat tukar







K (me/100gr)
0,78
0,94
1,22
0,93
1,32
0,63
0,93
Na (me/100gr)
2,49
2,75
1,83
0,69
3,28
1,43
0,48
Ca (me/100gr)
15,04
33,73
22,56
13,40
33,72
5,58
7,58
Mg (me/100gr)
10,64
11,38
8,85
7,82
13,95
3,24
5,13
Al (me/100gr)
4,27
3,19
2,69
2,10
2,00
3,22
0,33
H (me/100gr)
1,24
1,80
5,16
5,38
6,19
11,23
4,32
P-Bray2 (ppm)
31,5
74,6
80,4
57,0
95,3
20,7
10,6
Cu (0,05 N HCl) ppm
1,2
0,9
tr
0,5
Tr
-
0,07
Zn (0,05 N HCl) ppm
4,8
3,8
3,8
2,3
4,3
0,4
1,7
Kadar abu (%)
54,7
31,3
13,27
14,2
7,41
-
2,26
Kadar serat
2/10
5,10
3/10
4/10
3/10
-
-
Keterangan :  tr : sangat kecil

e.        Keragaman Biodiversitas Lahan Gambut
Dari segi keanekaragaman hayati (biodiversity), rawa gambut menyimpan keanekaragaman yang terbatas. Jenis pohon yang tumbuh di hutan rawa gambut sangat spesifik dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi baik dari dari hasil kayunya maupun hasil non kayu seperti getah-getahan, rotan, obat-obatan dan lain-lain. Beberapa jenis kayu komersil tinggi seperti ramin (Gonystylus bancanus), meranti rawa (Shorea pauciflora, Shorea timanniana, S. uliginosa), jelutung (Dyera lowii), nyantoh (Palaquium spp), bintangur (Calophyllum spp), kapur naga (Colophyllum macrocarpum) dan lain-lain.  
Selain itu, terdapat lumut yang dapat hidup di air gambut yang dikenal dengan lumut gambut (sphagnum sp). Lumut ini mempunyai batang yang banyak bercabang. Cabang yang muda tumbuh tegak dan membentuk roset pada ujungnya. Daun-daun yang sudah tua terulai dan menjadi pembalut bagian bawah batang. Habitat kebanyakan hidup di rawa-rawa. Membentuk rumput atau bantalan. Kulit batang sphagnum terdiri atas selapis sel yang telah mati. Jaringan kulit bersifat seperti spon. Dinding yang membujur maupun yang melintang mempunyai liang-liang yang bulat. Cabang-cabang jantan mempunyai anteridium yang bulat dan bertangkai di ketiak-ketiak daunnya. Cabang-cabang betina mempunyai arkegonium pada ujungnya. Sporogonium membentuk tangkai pendek dengan kaki yang membesar.  
 








Biodiversity Rawa Gambut
 








Lumut yang Hidup Di Lahan Gambut




f.         Aspek Lingkungan Lahan Gambut
Seperti uraian diatas, lahan gambut memiliki karakteristik fisika dan kimia yang khas. Karakter tersebut berhubungan dengan kontribusi lahan gambut dalam menjaga kestabilan lingkungan.
1.          Lahan Gambut sebagai Penambat dan Penyimpan Karbon
Lahan gambut yang luasnya 3% dari luas daratan diseluruh dunia mampu menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, 75% dari seluruh atmosfer, setara dengan seluruh karbon yang terkandung dalam biomassa (massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2007).
2.        Emisi Gas Rumah Kaca
Gas rumah kaca (GRK) utama yang dikeluarkan dari gambut adalah CO2, CH4, dan N2O. Emisi CO2 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH4 dan N2O.
3.        Subsiden
Penurunan permukaan lahan gambut (Subsiden) terjadi sesudah lahan gambut di drainase. Pada umumnya subsiden yang berlebih bersifat tidak dapat balik. Kecepatan sunsiden dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain tingkat kematangan gambut, tipe gambut, kecepatan dekomposisi, kepadatan dan ketebalan gambut, kedalaman drainase, iklim serta penggunaan lahan.


PEMBAHASAN


Rawa gambut merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi sebagai habitat tempat berkembang biak dan berlindung sumber daya hayati. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya lahan gambut sangat berperan dalam pembentukan Gas Rumah Kaca (GRK). Dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan maka telah menimbulkan berbagai dampak terhadap kerusakan lahan gambut sehingga perlu dilakukan berbagai upaya pengendaliannya. Salah satu upaya untuk melindungi ekosistem rawa gambut adalah dengan menetapkan kriteria baku mutu kerusakan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka yang dimasud dengan:
a.      Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
b.      Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas dan produktifitas lingkungan hidup.
c.       Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya.
d.      Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
e.      Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya. 
f.        Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui baku kriteria kerusakan lingkungan hidup.
Berdasarkan berbagai studi literatur yang penulis lakukan, maka berikut dapat ditetapkan parameter baku mutu rawa gambut :
1.       pH, pH lahan gambut berkisar antara 3 – 5
2.       Indeks biodiversitas
3.      Kerapatan dan keragaman biodiversitas, karena terbentuknya gambut adalah dari tumbuhan yang menumpuk secara terus-menerus dan melapuk dalam waktu yang lama.
4.      Jenis lumut รจ luasan lahan yang ditumbuhi lumut gambut
5.      Tingginya jumlah bakteri anaerob.
6.      Kandungan mineral 
7.      Emisi CO2
8.      Kandungan C
9.      Kandungan bahan organik/serat
10.   Warna tanah mulai dari coklat sampai hitam
11.    Warna air seperti teh pekat.
12.    Nilai kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi
13.   Nilai kejenuhan basa (KB) yang rendah.
14.   Luasnya drainase di lahan gambut















DAFTAR PUSTAKA

Fahmuddin Agus dan I.G. Made Subiksa. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor. 2008
Harjowigeno, S. 1996. Pengembangan Lahan Gambut  untuk Pertanian Suatu Peluang dan Tantangan. Orasi Guru Besar Tetap Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. 22 Juni 1996.
Rajagukguk, B. Dan B. Setiadi.1989. Strategi Pemanfaatan Lahan Gambut Di Indonesia Kasus Pertanian. Seminar Tanah Gambut untuk Perluasan Pertanian. Fakultas Pertanian UISU. Medan, 1989.
Saeri Sagiman, 2007. Pemanfaatan Lahan Gambut dengan Perspektif Pertanian Berkelanjutan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura. 23 Juli 2007
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Wetland Internasional Indonesia Programme, 2003. Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan Karbon Di Pulau Kalimantan, Buku I.
Wetland Internasional Indonesia Programme, 2003. Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan Karbon Di Pulau Sumatera, Buku I.

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar