PENDAHULUAN
Gambut merupakan
tanah yang terbentuk dari bahan organik pada fisiografi cekungan atau rawa,
akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh air, anaerob, menyebabkan proses
perombakan bahan organik berlangsung sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi
bahan organik yang membentuk tanah gambut. Lahan gambut di Indonesia merupakan
lahan gambut terluas keempat di dunia setelah Kanada, Rusia, Amerika Serikat
(Peat-portal.net). Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan berkisar antara
13,5 – 26,5 juta hektar. Data luas lahan gambut terus berubah seiring dengan
maraknya pembukaan lahan gambut oleh masyarakat yang tidak mengerti pentingnya
keberadaan lahan gambut. Kerusakan lahan gambut ini diakibatkan karena illegal
loging, kebakaran lahan, konversi lahan gambut menjadi perkebunan sawit dan
lahan sawah sejuta hektar. Namun semua itu ternyata tidak memberikan hasil yang
maksimal karena pada dasarnya lahan gambut bukanlah merupakan lahan produktif
yang bisa dikonversi menjadi perkebunan atau sawah.
Lahan gambut
merupakan salah satu deposit karbon di muka bumi, seperti halnya minyak bumi
dan batubara. Oleh karenanya, sangat besar sekali peranan lahan gambut dilihat
dari aspek lingkungan. Beberapa aspek lingkungan yang dapat dilihat dari lahan
gambut yaitu lahan gambut sebagai penyimpan karbon, lahan gambut sebagai sumber
emisi gas rumah kaca, kebakaran lahan gambut dan aspek geologi dan subsiden.
Meningkatnya jumlah
populasi mendesak manusia untuk dapat bertahan hidup dengan segala konsekuensi.
Sekalipun memanfaatkan lahan –lahan marjinal untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia.
Lahan gambut menjadi salah satu jenis lahan marginal yang dipilih, terutama
untuk perkebunan besar. Hal ini dikarenakan lahan gambut relatif jarang
penduduknya sehingga kemungkinan timbulnya konflik agraria sangat kecil.
Dalam konsep pembangunan
yang berkelanjutan (sustainable
development) yang lahir dari komisi dunia tentang lingkungan dan
pembangunan pada tahun 1978 yang dikenal pula dengan nama Komisi Brundlant. Pernyataan dari Komisi Brundlant yang sangat
populer adalah bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang
untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Berangkat dari konsep sustainable development ini maka sangat
penting bagi setiap rencana memperhatikan fungsi dari lahan yang akan mereka
manfaatkan. Karena hal ini sangat menyangkut kepada pernyataan bahwa bumi ini
merupakan warisan anak cucu, bukan titipan nenek moyang.
Sumber daya alam yang
meliputi vegetasi, tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu
harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dan kepentingan
pembangunan nasional dengan memperhatikan kelestasiannya.
TINJAUAN
PUSTAKA
Gambut merupakan tanah
yang terbentuk dari bahan organik pada fisiografi cekungan atau rawa, akumulasi
bahan organik pada kondisi jenuh air, anaerob menyebabkan proses peroombakan
bahan organik berjalan sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi bahan organik
yang membentuk tanah gambut.
Indonesia memiliki lahan
gambut terluas diantara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta Ha, yang tersebar
terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008).
Tabel 1. Penyebaran dan luas lahan gambut di indonesia
menurut propinsi
Pulau/Propinsi
|
Luas
Total (ha)
|
Sumatera
Kalimantan
Papua dan
Papua Barat
|
6.244.101
4.043.600
716.839
1.483.662
5.072.249
3.010.640
1.729.980
331.629
7.001.239
|
Total
|
18.317.589
|
Catatan: apabila
lahan gambut di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Bengkulu, dan Kalimantan timur diperhitungkan, maka luas total lahan
gambut di Indonesia adalah sekitar 21 juta hektar.
Sebagian besar lahan
gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai jenis fauna
dan tanaman langka. Lebih penting lagi, lahan gambut berfungsi menyimpan karbon
(C) dalam jumlah besar, baik diatas maupun dibawah permukaan tanah. Gambut juga
mempunyai daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga
hidrologi areal sekelilingnya. Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam
sistem hidrologi kawasan hilir suatu DAS karena mampu menyerap air 13 kali
lipat dari bobotnya.
Lahan gambut adalah layan
yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik >18%) dengan
ketebalan 50cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari
sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh
air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa
belakang (back swam) atau daerah cekungan yang draenasenya buruk.
a.
Pembentukan Lahan Gambut
Gambut terbentuk dari
timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang telah lapuk maupun yang
belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh
kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya
tingkat biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik
yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi,
berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan
proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986).
Pembentukan gambut diduga
terjadi antara 10000-5000 tahun yang lalu dan gambut indonesia terjadi antara
6800-4200 tahun yang lalu (Andriesse, 1994). Pembentukan gambut memerluakan
waktu yang sangat panjang. Gambut tumbuh dengan kecepatan antara 0-3 mm per
tahun. Di Barambai Delta Pulau Petak Kalimantan Selatan, laju pertumbuhan
gambut sekitar 0,05 mm dalam 1 tahun, sedangkan di Pontianak sekitar 0,13mm per
tahun. Di Sarawak Malaysia, laju pertumbuhan berjalan lebih cepat, yaitu
sekitar 0,22 mm sampai 0,48 mm per tahun (Noor, 2001 dari berbagai sumber).
Proses pembentukan gambut
dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman
air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan lapuk secara bertahap
membentuk lapisan yang kemudian menjadi
lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan dibawahnya)
berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian tengah dari danau
dangkal ini dan membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau tersebut
menjadi penuh.
Bagian gambut yang mengisi
danau dangkal tersebut disebut dengan gambut topogen karena pembentukannya
disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen biasanya lebih
relatif subur (eutrofik) karena
adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada
banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut
tersebut.
Gambut yang tumbuh di atas
gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang pembentukannya ditentukan
oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah kesuburannya dibandingkan dengan
gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral.
b.
Klasifikasi Lahan Gambut
Gambut diklasifikasikan
berdasarkan sudut pandang yang berbeda yaitu dari tingkat kematangan,
kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya.
Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan
menjadi:
1.
Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut
dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila
diremas kandungan seratnya < 15%. Jenis gambut ini memiliki bahan organik
kasar kurang dari 1/3.
2.
Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian
bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat dan bila diremas bahan
seratnya 15 – 75%. Jenis gambut ini memiliki 1/3 – 2/3 bahan organik kasar.
3.
Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan
asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas masih mengandung
> 75% bahan serat yang tersisa. Jenis gambut ini memiliki lebih dari 2/3
bahan organik kasar.
Contoh
tanah gambut yang diambil menggunakan bor gambut (peat sampler). Gambar atas
memberikan contoh gambut fibrik (mentah) dan gambar bawah contoh gambut hemik
(setengah matang).
Berdasarkan
tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:
1.
Gambut eutrofik, adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral
dan basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya
adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
2.
Gambut mesotrofik, adalah gambut yang agak subur karena memiliki
kandungan mineral dan basa-basa sedang.
3.
Gambut oligotrofik, adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral
dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari pengaruh
lumpur sungai biasanya termasuk golongan gambut oligotrofik.
Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut
mesotrofik dan oligotrofik (Radjagukguk, 1997). Gambut eutrofik di Indonesia
hanya sedikit dan umumnya tersebar di daerah pantai dan disepanjang jalur
aliran sungai.
Berdasarkan
lingkungan pembentuknya, gambut dibedakan atas:
1.
Gambut ombrogen, yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang
hanya dipengaruhi oleh air hujan.
2.
Gambut topogen, yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang
mendapat pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya
mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen.
Proses
pembentukan lahan gambut di daerah cekungan lahan basa: a. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi
lahan basah, b. Pembentukan gambut topogen, dan c. Pembentukan gambut ombrogen
diatas gambut topogen.
Berdasarkan
kedalamannya gambut dibedakan menjadi:
1.
Gambut
dangkal (50 – 100cm)
2.
Gambut
sedang (100 – 200cm)
3.
Gambut
dalam (200 – 300cm)
4.
Gambut
sangat dalam (>300cm)
Berdasarkan
proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi:
1.
Gambut pantai, adalah gambut yang terbentuk di dekat pantai laut dan
mendapat pengayaan mineral dari air laut.
2.
Gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak oleh
pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan.
3.
Gambut transisi adalah gambut yang terbentuk diantara ke dua wilayah
tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut.
c.
Karakteristik Fisik Lahan Gambut
Karakteristik fisik lahan gambut meliputi kadar air,
berat isi (bulk density), daya menahan
beban (bearing capacity), penurunan
permukaan (subsiden), dan mengering
tidak balik (irreversible drying).
Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1300% dari
berat keringnya (Mutalib et al., 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air
sampai 13 kali bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut
mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya. Kadar air yang tinggi menyebabkan
bulk density (BD) menjadi rendah,
gambut menjadi lembek dan bebannya rendah (Nugroho et al., 1997; Widjaja-Adhi,
1997). BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g/cm3
tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut fibrik yang pada umumnya berada
pada lapisan bawah memiliki BD lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tetapi
gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki BD > 0,2g/cm3
(Tie dan Lim, 1997) karena adanya pengaruh tanah mineral.
Air mengalir dari kubah gambut melalui saluran drainase
Berikut dapat dilihat nilai tabulasi yang dilakukan
Wahyunto et.al (2004) untuk nilai-nilai BD dan C organik di Sumatera dan
Kalimantan. Nilai-nilai yang dikumpukan tersebut berasal dari analisis langsung
di beberapa lokasi di Sumatera dan Kalimantan.
Tabel
2. Nilai kisaran dan rata-rata bobot isi/bulk density (BD) dan C-organik pada tiap
jenis/tingkat kematangan gambut di Sumatera.
No.
|
Tingkat
kematangan gambut
|
Bobot
isi (BD) (gram/cc)
|
C-organik
(%)
|
||
Kisaran
|
Rata-rata
|
Kisaran
|
Rata-rata
|
||
1.
|
Fibrik
|
0,1012 – 0,12
|
0,1028
|
-
|
53,31
|
2.
|
Hemik
|
0,1325 – 0,29
|
0,1716
|
38,97 – 51,37
|
48,00
|
3.
|
Saprik
|
0,2492 – 0,37
|
0,2794
|
28,96 – 53,89
|
44,95
|
4.
|
Peaty
soil/mineral bergambut sangat dangkal
|
0,2152 – 0,6878
|
0,3402
|
28,96 – 39,81
|
35,12
|
Tabel
3. Nilai kisaran dan rata-rata bobot isi/bulk density (BD) dan C-organik pada
tiap jenis/tingkat kematangan gambut di Kalimantan.
No.
|
Tingkat
kematangan gambut
|
Bobot
isi (BD) (gram/cc)
|
C-organik
(%)
|
||
Kisaran
|
Rata-rata
|
Kisaran
|
Rata-rata
|
||
1.
|
Fibrik
|
0,11 – 0,19
|
0,13
|
40,02 – 49,69
|
42,63
|
2.
|
Hemik
|
0,20 – 0,24
|
0,23
|
34,52 – 40,01
|
36,24
|
3.
|
Saprik
|
0,25 – 0,29
|
0,27
|
32,57 – 34,50
|
33,53
|
4.
|
Peaty
soil/mineral bergambut sangat dangkal
|
0,30 – 0,40
|
0,32
|
26,85 – 32,55
|
30,75
|
Volume lahan gambut akan menyusut bila lahan gambut di
drainase, sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume, subsiden terjadi karena
adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama gambut didrainase,
laju subsiden mencapai 2 – 6% per tahun tergantung kematangan gambut dan
kedalaman saluran drainase.
Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau
menyangga beban (bearing capacity)
menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisme
karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman
tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit
atau kelapa seringkali doyong atau bahkan roboh.
Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah mengering tidak
balik. Gambut yang telah mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan
berat), tidak bisa menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini
sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah
terbakar dalam keadaan kering (Widjaja-Adhi, 1988). Gambut yang terbakar
menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar.
d.
Karakter Kimia Lahan Gambut
Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia
ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral dan substatum (di
dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di
Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi
organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian
besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin,
resin, suberin, protein dan seyawa lainnya.
Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang
relatif tinggi dengan kisaran pH 3 – 5. Gambut oligotropik yang memiliki
substratum pasir kuarsa di Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH
3,25 – 3,75 (Halim, 1987; Salampak, 1999). Sementara gambut di sekitar air
sugihan kiri, Sumatera Selatan memiliki kisaran pH 4,1 – 4,3 (Hartatiek et al.,
2004).
Gambut oligotropik mempunyai kandungan kation basa
seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada gambut tebal. Semakin
tebal gambut, maka basa-basa yang dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah
akan semakin masam. Disisi lain, Kapasitas Tukar Kation (KTK) gambut tergolong
tinggi sehingga Kejenuhan Basa (KB) menjadi sangat rendah. Tim IPB (1974) melaporkan
bahwa tanah gambut pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah mempunyai nilai
KB kurang dari 10%, demikian juga gambut di timur Riau.
Lahan gambut merupakan lahan dengan tingkat kesuburan
yang rendah karena unsur haranya yang rendah dan mengandung beragam asam-asam
organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Untuk mengurangi pengaruh
buruk dari asam-asam tersebut maka dapat dilakukan penambahan bahan-bahan yang
banyak mengandung Fe, Al, Cu, dan Zn.
Kawasan gambut di Indonesia dan daerah tropis lainnya
terbentuk dari pohon-pohon sehingga memiliki kandungan lignin yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan lahan gambut di daerah beriklim sedang. Lignin dalam
kondisi anaerob akan mengalami proses degradasi sehingga menghasilkan senyawa
humat dan asam-asam fenolat yang bersifat racun bagi tanaman.
Pada tabel berikut dapat dilihat sifat kimia lahan
gambut pada berbagai ketebalan.
Tabel
4. Sifat Kimia Lapisan Permukaan Tanah Gambut Pada Berbagai Ketebalan
Sifat Kimia Tanah
|
Ketebalan gambut (cm)
|
||||||
20
|
50
|
80
|
120
|
180
|
300
|
340
|
|
pH
|
4,6
|
4,0
|
3,3
|
3,3
|
3,4
|
3,1
|
3,3
|
C-org (%)
|
26,4
|
39,9
|
50,4
|
50,0
|
53,8
|
56,7
|
57,0
|
N total (%)
|
1,2
|
1,7
|
1,7
|
1,7
|
1,8
|
1,5
|
1,0
|
C/N
|
22
|
24
|
30
|
29
|
30
|
33
|
58
|
KTK (me/100gr)
|
77,3
|
147,9
|
165,3
|
134,1
|
216,4
|
137,4
|
194,0
|
KB (%)
|
37,4
|
33,0
|
20,8
|
17,0
|
24,1
|
7,9
|
9,7
|
Kation dapat
tukar
|
|
|
|
|
|
|
|
K (me/100gr)
|
0,78
|
0,94
|
1,22
|
0,93
|
1,32
|
0,63
|
0,93
|
Na (me/100gr)
|
2,49
|
2,75
|
1,83
|
0,69
|
3,28
|
1,43
|
0,48
|
Ca (me/100gr)
|
15,04
|
33,73
|
22,56
|
13,40
|
33,72
|
5,58
|
7,58
|
Mg (me/100gr)
|
10,64
|
11,38
|
8,85
|
7,82
|
13,95
|
3,24
|
5,13
|
Al (me/100gr)
|
4,27
|
3,19
|
2,69
|
2,10
|
2,00
|
3,22
|
0,33
|
H (me/100gr)
|
1,24
|
1,80
|
5,16
|
5,38
|
6,19
|
11,23
|
4,32
|
P-Bray2 (ppm)
|
31,5
|
74,6
|
80,4
|
57,0
|
95,3
|
20,7
|
10,6
|
Cu (0,05 N HCl)
ppm
|
1,2
|
0,9
|
tr
|
0,5
|
Tr
|
-
|
0,07
|
Zn (0,05 N HCl)
ppm
|
4,8
|
3,8
|
3,8
|
2,3
|
4,3
|
0,4
|
1,7
|
Kadar abu (%)
|
54,7
|
31,3
|
13,27
|
14,2
|
7,41
|
-
|
2,26
|
Kadar serat
|
2/10
|
5,10
|
3/10
|
4/10
|
3/10
|
-
|
-
|
Keterangan : tr :
sangat kecil
e.
Keragaman Biodiversitas Lahan Gambut
Dari segi keanekaragaman hayati (biodiversity), rawa
gambut menyimpan keanekaragaman yang terbatas. Jenis pohon yang tumbuh di hutan
rawa gambut sangat spesifik dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi baik dari
dari hasil kayunya maupun hasil non kayu seperti getah-getahan, rotan,
obat-obatan dan lain-lain. Beberapa jenis kayu komersil tinggi seperti ramin (Gonystylus bancanus), meranti rawa (Shorea pauciflora, Shorea timanniana, S. uliginosa),
jelutung (Dyera lowii), nyantoh (Palaquium spp), bintangur (Calophyllum spp), kapur naga (Colophyllum macrocarpum) dan lain-lain.
Selain itu, terdapat lumut yang dapat hidup di air
gambut yang dikenal dengan lumut gambut (sphagnum
sp). Lumut ini mempunyai batang yang banyak bercabang. Cabang yang muda
tumbuh tegak dan membentuk roset pada ujungnya. Daun-daun yang sudah tua
terulai dan menjadi pembalut bagian bawah batang. Habitat kebanyakan hidup di
rawa-rawa. Membentuk rumput atau bantalan. Kulit batang sphagnum terdiri atas
selapis sel yang telah mati. Jaringan kulit bersifat seperti spon. Dinding yang
membujur maupun yang melintang mempunyai liang-liang yang bulat. Cabang-cabang
jantan mempunyai anteridium yang bulat dan bertangkai di ketiak-ketiak daunnya.
Cabang-cabang betina mempunyai arkegonium pada ujungnya. Sporogonium membentuk
tangkai pendek dengan kaki yang membesar.
Biodiversity Rawa Gambut
Lumut yang Hidup Di Lahan Gambut
f.
Aspek Lingkungan Lahan Gambut
Seperti uraian diatas, lahan gambut memiliki
karakteristik fisika dan kimia yang khas. Karakter tersebut berhubungan dengan
kontribusi lahan gambut dalam menjaga kestabilan lingkungan.
1.
Lahan Gambut sebagai Penambat dan Penyimpan
Karbon
Lahan
gambut yang luasnya 3% dari luas daratan diseluruh dunia mampu menyimpan 550
Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, 75% dari seluruh atmosfer,
setara dengan seluruh karbon yang terkandung dalam biomassa (massa total
makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan
di seluruh dunia (Joosten, 2007).
2.
Emisi Gas Rumah Kaca
Gas
rumah kaca (GRK) utama yang dikeluarkan dari gambut adalah CO2, CH4,
dan N2O. Emisi CO2 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
emisi CH4 dan N2O.
3.
Subsiden
Penurunan
permukaan lahan gambut (Subsiden) terjadi sesudah lahan gambut di drainase.
Pada umumnya subsiden yang berlebih bersifat tidak dapat balik. Kecepatan
sunsiden dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain tingkat kematangan
gambut, tipe gambut, kecepatan dekomposisi, kepadatan dan ketebalan gambut,
kedalaman drainase, iklim serta penggunaan lahan.
PEMBAHASAN
Rawa gambut merupakan sumber daya alam yang mempunyai
berbagai fungsi sebagai habitat tempat berkembang biak dan berlindung sumber
daya hayati. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya lahan gambut sangat
berperan dalam pembentukan Gas Rumah Kaca (GRK). Dengan semakin meningkatnya
kegiatan pembangunan maka telah menimbulkan berbagai dampak terhadap kerusakan
lahan gambut sehingga perlu dilakukan berbagai upaya pengendaliannya. Salah
satu upaya untuk melindungi ekosistem rawa gambut adalah dengan menetapkan
kriteria baku mutu kerusakan.
Berdasarkan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka
yang dimasud dengan:
a.
Lingkungan
hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup
termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
b.
Ekosistem
adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh
dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas dan
produktifitas lingkungan hidup.
c.
Daya
dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya.
d.
Baku
mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur
lingkungan hidup.
e.
Kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik,
kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan
hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.
f.
Kerusakan
lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap
sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui baku
kriteria kerusakan lingkungan hidup.
Berdasarkan berbagai studi literatur yang penulis
lakukan, maka berikut dapat ditetapkan parameter baku mutu rawa gambut :
1.
pH,
pH lahan gambut berkisar antara 3 – 5
2.
Indeks
biodiversitas
3.
Kerapatan
dan keragaman biodiversitas, karena terbentuknya gambut adalah dari tumbuhan
yang menumpuk secara terus-menerus dan melapuk dalam waktu yang lama.
4.
Jenis
lumut รจ luasan lahan yang ditumbuhi lumut gambut
5.
Tingginya
jumlah bakteri anaerob.
6.
Kandungan
mineral
7.
Emisi
CO2
8.
Kandungan
C
9.
Kandungan
bahan organik/serat
10.
Warna
tanah mulai dari coklat sampai hitam
11.
Warna
air seperti teh pekat.
12.
Nilai
kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi
13.
Nilai
kejenuhan basa (KB) yang rendah.
14.
Luasnya
drainase di lahan gambut
DAFTAR PUSTAKA
Fahmuddin Agus dan
I.G. Made Subiksa. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan.
Bogor. 2008
Harjowigeno, S.
1996. Pengembangan Lahan Gambut untuk
Pertanian Suatu Peluang dan Tantangan. Orasi Guru Besar Tetap Ilmu Tanah
Fakultas Pertanian IPB. 22 Juni 1996.
Rajagukguk, B. Dan
B. Setiadi.1989. Strategi Pemanfaatan Lahan Gambut Di Indonesia Kasus
Pertanian. Seminar Tanah Gambut untuk Perluasan Pertanian. Fakultas Pertanian
UISU. Medan, 1989.
Saeri Sagiman,
2007. Pemanfaatan Lahan Gambut dengan Perspektif Pertanian Berkelanjutan. Orasi
Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas
Tanjungpura. 23 Juli 2007
Undang-undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Wetland
Internasional Indonesia Programme, 2003. Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan
Karbon Di Pulau Kalimantan, Buku I.
Wetland
Internasional Indonesia Programme, 2003. Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan
Kandungan Karbon Di Pulau Sumatera, Buku I.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar